SEJARAH DESA PASLATEN
Desa Paslaten memiliki nama yang berasal dari istilah lokal “Pasele Seleten”, yang berarti “di sela-sela” atau “di antara air yang masih menggenang”. Nama ini mencerminkan kondisi awal wilayah tersebut yang dulunya merupakan bagian dari danau. Di tengah kondisi kekeringan yang melanda daerah lain, masyarakat memilih menempati wilayah yang masih digenangi air ini. Pada masa pendudukan Belanda, danau yang membentang dari wilayah ini hingga Langowan kemudian dikeringkan melalui proses pelebaran dan pendalaman aliran air, sehingga permukaan danau secara bertahap menyusut.
Ketika air mulai surut, kawasan yang kini dikenal sebagai Desa Paslaten mulai dihuni dan berkembang menjadi pemukiman. Sebelumnya, masyarakat yang tinggal di wilayah ini bermukim di daerah pegunungan. Seiring berjalannya waktu, warga mulai membangun tempat tinggal yang disebut dengan istilah "daseng-daseng". Karena lokasi ini dulunya merupakan perairan yang telah surut dan mulai ramai dihuni, maka wilayah tersebut diberi nama “Paslaten”, yang berasal dari ungkapan “Pasele Seleten”.
Desa Paslaten merupakan desa terakhir yang terbentuk di wilayah Kecamatan Kakas. Ketika jumlah penduduk mulai bertambah, seorang pemimpin ditunjuk untuk memimpin masyarakat. Pada masa itu, pemimpin desa disebut dengan istilah “Perwis”, yang kini dikenal sebagai Pejabat Sementara. Tokoh pertama yang ditunjuk sebagai pemimpin desa adalah Sumaiku, seorang tokoh berpengaruh atau pembesar di wilayah Kakas. Ia dipercaya memimpin Desa Paslaten pada tahun 1883 dan juga mengelola wilayah Desa Tounelet, karena saat itu Desa Paslaten masih berada di bawah administrasi yang sama dengan Desa Tounelet.
Setelah masa kepemimpinan Sumaiku berakhir, tampuk pemerintahan dilanjutkan oleh Daud Kawet yang memimpin selama 27 tahun, hingga tahun 1949. Setelah itu, jabatan hukum tua diteruskan oleh Djudon Lontaan, namun masa jabatannya hanya berlangsung selama tiga tahun, sebelum kemudian digantikan oleh Yakobus Lontaan yang menjabat selama dua tahun.
Pada tahun 1955, diadakan pencalonan hukum tua untuk periode pemerintahan berikutnya yang berlangsung hingga 1960. Masa ini dikenal sebagai periode yang cukup memanas secara politik. Situasi mulai kondusif kembali pada tahun 1961, dan kepemimpinan diambil alih oleh Pele Kawet, yang ditunjuk sebagai penjabat sementara untuk mempersiapkan pemilihan hukum tua. Dalam pemilihan yang berlangsung pada tahun 1962, Johny Lengkoan terpilih dan menjabat hingga tahun 1968.
Selanjutnya, Lefrand Kawet terpilih dan menjabat dari tahun 1968 hingga 1973. Setelah masa jabatannya berakhir, terjadi kekosongan pemerintahan selama tiga bulan. Pendaftaran calon hukum tua kembali dibuka pada bulan April 1973, dan pemilihan dilaksanakan pada tanggal 30 Mei 1973. Dari hasil pemilihan tersebut, Nyakun Mamuali terpilih sebagai hukum tua dan menjabat hingga tahun 1978.
Setelah masa jabatan Nyakun Mamuali selesai, pemilihan hukum tua kembali dilaksanakan dan menghasilkan George Lontaan sebagai pemimpin desa yang menjabat hingga tahun 1981. Sisa masa jabatan selama dua tahun kemudian dijalankan oleh Jhony Lengkoan sebagai pejabat sementara dari tahun 1981 hingga 1983.